Kita semua tentu ingat akan kisah Nabi Adam dan isterinya Siti Hawa.
Kedua insan nenek moyang bangsa manusia ini hidup tenteram bergelimang
nikmat tiada tara di surga yang dilimpahkan oleh Tuhan, Allah SWT. Mau
makan, tinggal makan; karena di sana sudah tersedia berbagai jenis
buah-buahan nan lezat, harum dan segar. Mau minum, ya tinggal minum;
sebab di situ terdapat sungai yang di dalamnya mengalir “nectar” dengan
cita rasanya yang manis tak terperi. Tiada penyakit, tiada bencana,
tiada kejahatan, tiada rasa khawatir, tiada ketakutan, tiada kecemasan.
Pokoknya, segala yang ada hanyalah kenikmatan dan kesenangan belaka.
Dengan keadaan yang seperti itu, tentunya kita berfikir, tidak akan ada lagi hal apa pun yang diinginkan oleh Adam mau pun Hawa. Bayangkan saja, semua serba ada, serba tidak kekurangan dan semua serba menyenangkan!
Namun, apa lacur.. Sesosok makhluk yang namanya iblis telah menghancurkan segalanya. Dengan tutur kata menghanyutkan, iblis berhasil membangkitkan keinginan Adam dan Hawa untuk memperoleh buah larangan yang bernama “buah khuldi”. Dan ketika pada akhirnya keinginan itu dilaksanakan dengan memetik buah tersebut, Tuhan yang marah dengan serta merta mencampakkan keduanya ke bumi, ke dunia yang fana tempat di mana kita semua sekarang berada.
“Wahai Adam dan Hawa. Kalian telah bersalah dengan mengumbar nafsu keinginan yang berlebih-lebihan. Padahal, semua kebutuhanmu telah Aku penuhi dengan sebaik-baiknya. Ketahuilah, bahwa perilaku yang demikian itu disebut “serakah”. Sayang sekali, tiada tempat di surga ini bagi mereka yang serakah. Maka mulai hari ini, kalian Aku turunkan ke dunia yang fana, agar kalian dapat memperbaiki diri dengan jalan menghapus semua sifat serakah yang ada di batin kalian..” demikian Tuhan berkata.
Terlepas dari soal apakah kisah skandal Adam dan Hawa ini berlangsung persis sebagaimana diceritakan di atas atau tidak, ada satu hal yang perlu kita cermati. Yaitu moral dari cerita itu sendiri. Mari kita bahas hal-hal di bawah ini:
• Bahwa kita umat manusia yang sekarang “terpaksa” menghuni planet bumi, tidak lain tidak bukan adalah disebabkan oleh perilaku “serakah” yang muncul di benak nenek moyang kita, Adam dan Hawa. Dan bahwa Tuhan telah menentukan bahwa kita tidak akan dapat kembali menikmati kenikmatan surgawi, selama sifat serakah itu masih bersemayam. Maka tidak usahlah kita heran bahwa setelah ribuan tahun tinggal di bumi, sisa-sisa perilaku serakah itu masih masih tetap saja ada, yang dalam kenyataannya terwujud dalam tindakan korupsi, manipulasi, penipuan, mafia-isme, premanisme dan lain sebagainya.
• Bahwa umat manusia yang tidak ingin berubah dan tetap serakah, akan terus tinggal di bumi yang fana sampai nanti hari kiamat, di mana bumi yang sudah tua akan melebur dan berubah menjadi neraka.
• Hakikat kehidupan sebenarnya sederhana dan mudah, yaitu bahwa akar dari segala kejahatan yang ada di dunia ini adalah sifat serakah, yang apabila manusia mau menghilangkan dari benaknya, niscaya semua orang dengan serta merta akan diterima kembali oleh Tuhan di surganya yang maha indah. Itulah pula yang oleh Sang Buddha disebut sebagai “pohon keinginan” yang setiap saat harus diwaspadai, dipantau dan dikendalikan.
Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana caranya mengidentifikasi bahwa suatu tindakan itu dilandasi oleh sifat serakah?
Sebagaimana tindakan yang dilakukan Adam dan Hawa di Taman Firdaus dulu, maka suatu tindakan dapat digolongkan ke dalam kategori keserakahan, apabila tindakan dimaksud dilakukan semata-mata berdasarkan keinginan menambah-nambah kesenangan pribadi, padahal yang bersangkutan sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan yang lebih dari cukup.
Pertanyaan berikut mungkin muncul: “Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan, agar tindak-tanduk dan sepak-terjangnya tidak masuk dalam kategori keserakahan?” Jawabnya sederhana sekali: “Bekerjalah untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Pada tingkatan ini, semakin banyak yang Anda lakukan dan semakin tinggi prestasi yang Anda capai, akan semakin baiklah reputasi Anda dan semakin sejahtera pula masyarakat sekitar Anda..”
Dunia wirausaha adalah sebuah dunia yang sensitif terhadap keserakahan. Pengusaha yang “asyik dengan kesuksesan”, akan mudah sekali tergelincir masuk ke dalam kubangan keserakahan. Bermula dari keberhasilan meraih kesuksesan-kesuksesan kecil, merambah naik ke tingkatan kesuksesan-kesuksesan besar, seorang pengusaha sangat mungkin untuk segera berperilaku tak terkendali ditandai dengan dimulainya sepak terjang untuk menguasai lahan-lahan orang lain, membendung laju pertumbuhan pesaingnya dengan berbagai cara yang dihalalkan, bahkan sampai kepada upaya untuk mencaplok hak-hak milik masyarakat umum, seakan belum puas sebelum seluruh isi dunia ini menjadi miliknya.
Mudah untuk menemukan contoh tentang pengusaha-pengusaha serakah. Di zaman Orde Baru, pengusaha-pengusaha jenis ini bermunculan dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu banyak, sehingga karena sepak terjang mereka begitu ganasnya, seorang Kwik Kian Gie sampai-sampai merasa perlu untuk menjuluki mereka dengan sebutan “business animals”. Dan bagi generasi muda sekarang, juga akan mudah mengenali mereka karena sebagian di antaranya telah berpindah tempat menjadi penghuni penjara, sebagian lagi menjadi buronan Interpol, serta ada juga yang telah meninggal dunia dalam pelarian, sebagaimana nasib orang-orang kaya yang terjebak dalam “money centered life”.
Vivere Peri Coloso
Almarhum Presiden Soekarno pernah mempopulerkan istilah “Vivere Peri Coloso”, sebuah istilah dalam bahasa Itali yang artinya lebih kurang: “nyerempet-nyerempet bahaya”. Dan begitulah sesungguhnya dunia usaha. Seorang pengusaha yang ingin tetap hadir dalam blantika bisnis, harus berani “nyerempet-nyerempet bahaya”. Memberikan pelayanan yang baik tanpa harus menyogok, bersaing harga tanpa harus melakukan “dumping” dan lain sebagainya. Dan untuk itu diperlukan naluri bisnis yang tinggi dan peka.
Kabar baiknya adalah bahwa para wirausahawan sejati ternyata arif dengan hal itu. Seorang adik saya yang dalam manuver “BODOL”nya menggandeng seorang “pangeran” dari dinasti Bakrie, menceritakan sesuatu yang menarik. Ia berkisah bahwa dalam sebuah rapat, sang pangeran memberikan pengarahannya bahwa dunia bisnis itu memang dunia yang penuh risiko, penuh dengan intrik, agitasi dan provokasi, sehingga diperlukan kelihayan tertentu untuk mengatasi semua itu. Namun begitu – demikian sang pangeran – bukan tidak mungkin suatu waktu, seorang pengusaha akan tersandung dan terjerembab ke dalam suatu manuver bisnis yang dapat menyebabkan dirinya disorot masyarakat sebagai tokoh bisnis yang memiliki kecenderungan serakah.
Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam itu, seorang pengusaha perlu selalu ingat, bahwa dirinya bekerja untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Dan itu harus diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata, seperti ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sosial, misalnya dengan menyumbang ke panti-panti asuhan, menyokong dunia pendidikan, mendirikan tempat-tempat ibadah, rumah sakit dan lain sebagainya.
Syukur alhamdulillah, baru-baru ini majalah “Swa” memberitakan bahwa beberapa tokoh pengusaha sukses ternyata telah aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, yang secara langsung mau pun tidak langsung, telah menggambarkan diri mereka sebagai figur yang tidak serakah, karena telah nyata-nyata bekerja untuk kepentingan orang banyak. Di antara para pengusaha yang tampil sebagai philanthropist (dermawan) itu terdapat antara lain: Sudamek (Kacang Garuda), Jakob Oetama (Kompas), Martha Tilaar (Martina Berto), Raam Punjabi (Multivision Plus), Rudy J. Pesik (Birotika Semesta/DHL), Soedarpo Sastrosatomo (Samudera Indonesia), Sofyan Wanandi (Gemala Group) dan lain-lain.
Orang terkaya di dunia pun, Bill Gates, yang selama ini ditengarai sebagai tokoh bisnis yang serakah, ternyata merupakan seorang dermawan pula. Ia menyumbangkan banyak dana untuk kepentingan pemberantasan penyakit AIDS dan malaria, melalui “Bill and Melinda Gates Foundation”. Dan jangan kaget, kalau biang kerok krisis keuangan George Soros pun ternyata termasuk dalam barisan para philanthropist. Ia konon telah merelakan uangnya sebesar 5.40 milyar dolar Amerika untuk kepentingan sosial.
Kita berdoa, semoga makin banyak wirausahawan, kecil mau pun besar, yang tidak sudi terperosok ke dalam jebakan keserakahan, untuk makin menunjukkan dirinya sebagai pengusaha dermawan yang peduli pada sesama.
Dengan keadaan yang seperti itu, tentunya kita berfikir, tidak akan ada lagi hal apa pun yang diinginkan oleh Adam mau pun Hawa. Bayangkan saja, semua serba ada, serba tidak kekurangan dan semua serba menyenangkan!
Namun, apa lacur.. Sesosok makhluk yang namanya iblis telah menghancurkan segalanya. Dengan tutur kata menghanyutkan, iblis berhasil membangkitkan keinginan Adam dan Hawa untuk memperoleh buah larangan yang bernama “buah khuldi”. Dan ketika pada akhirnya keinginan itu dilaksanakan dengan memetik buah tersebut, Tuhan yang marah dengan serta merta mencampakkan keduanya ke bumi, ke dunia yang fana tempat di mana kita semua sekarang berada.
“Wahai Adam dan Hawa. Kalian telah bersalah dengan mengumbar nafsu keinginan yang berlebih-lebihan. Padahal, semua kebutuhanmu telah Aku penuhi dengan sebaik-baiknya. Ketahuilah, bahwa perilaku yang demikian itu disebut “serakah”. Sayang sekali, tiada tempat di surga ini bagi mereka yang serakah. Maka mulai hari ini, kalian Aku turunkan ke dunia yang fana, agar kalian dapat memperbaiki diri dengan jalan menghapus semua sifat serakah yang ada di batin kalian..” demikian Tuhan berkata.
Terlepas dari soal apakah kisah skandal Adam dan Hawa ini berlangsung persis sebagaimana diceritakan di atas atau tidak, ada satu hal yang perlu kita cermati. Yaitu moral dari cerita itu sendiri. Mari kita bahas hal-hal di bawah ini:
• Bahwa kita umat manusia yang sekarang “terpaksa” menghuni planet bumi, tidak lain tidak bukan adalah disebabkan oleh perilaku “serakah” yang muncul di benak nenek moyang kita, Adam dan Hawa. Dan bahwa Tuhan telah menentukan bahwa kita tidak akan dapat kembali menikmati kenikmatan surgawi, selama sifat serakah itu masih bersemayam. Maka tidak usahlah kita heran bahwa setelah ribuan tahun tinggal di bumi, sisa-sisa perilaku serakah itu masih masih tetap saja ada, yang dalam kenyataannya terwujud dalam tindakan korupsi, manipulasi, penipuan, mafia-isme, premanisme dan lain sebagainya.
• Bahwa umat manusia yang tidak ingin berubah dan tetap serakah, akan terus tinggal di bumi yang fana sampai nanti hari kiamat, di mana bumi yang sudah tua akan melebur dan berubah menjadi neraka.
• Hakikat kehidupan sebenarnya sederhana dan mudah, yaitu bahwa akar dari segala kejahatan yang ada di dunia ini adalah sifat serakah, yang apabila manusia mau menghilangkan dari benaknya, niscaya semua orang dengan serta merta akan diterima kembali oleh Tuhan di surganya yang maha indah. Itulah pula yang oleh Sang Buddha disebut sebagai “pohon keinginan” yang setiap saat harus diwaspadai, dipantau dan dikendalikan.
Nah, sekarang timbul pertanyaan, bagaimana caranya mengidentifikasi bahwa suatu tindakan itu dilandasi oleh sifat serakah?
Sebagaimana tindakan yang dilakukan Adam dan Hawa di Taman Firdaus dulu, maka suatu tindakan dapat digolongkan ke dalam kategori keserakahan, apabila tindakan dimaksud dilakukan semata-mata berdasarkan keinginan menambah-nambah kesenangan pribadi, padahal yang bersangkutan sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan yang lebih dari cukup.
Pertanyaan berikut mungkin muncul: “Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah berada dalam kesenangan dan kenikmatan, agar tindak-tanduk dan sepak-terjangnya tidak masuk dalam kategori keserakahan?” Jawabnya sederhana sekali: “Bekerjalah untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Pada tingkatan ini, semakin banyak yang Anda lakukan dan semakin tinggi prestasi yang Anda capai, akan semakin baiklah reputasi Anda dan semakin sejahtera pula masyarakat sekitar Anda..”
Dunia wirausaha adalah sebuah dunia yang sensitif terhadap keserakahan. Pengusaha yang “asyik dengan kesuksesan”, akan mudah sekali tergelincir masuk ke dalam kubangan keserakahan. Bermula dari keberhasilan meraih kesuksesan-kesuksesan kecil, merambah naik ke tingkatan kesuksesan-kesuksesan besar, seorang pengusaha sangat mungkin untuk segera berperilaku tak terkendali ditandai dengan dimulainya sepak terjang untuk menguasai lahan-lahan orang lain, membendung laju pertumbuhan pesaingnya dengan berbagai cara yang dihalalkan, bahkan sampai kepada upaya untuk mencaplok hak-hak milik masyarakat umum, seakan belum puas sebelum seluruh isi dunia ini menjadi miliknya.
Mudah untuk menemukan contoh tentang pengusaha-pengusaha serakah. Di zaman Orde Baru, pengusaha-pengusaha jenis ini bermunculan dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu banyak, sehingga karena sepak terjang mereka begitu ganasnya, seorang Kwik Kian Gie sampai-sampai merasa perlu untuk menjuluki mereka dengan sebutan “business animals”. Dan bagi generasi muda sekarang, juga akan mudah mengenali mereka karena sebagian di antaranya telah berpindah tempat menjadi penghuni penjara, sebagian lagi menjadi buronan Interpol, serta ada juga yang telah meninggal dunia dalam pelarian, sebagaimana nasib orang-orang kaya yang terjebak dalam “money centered life”.
Vivere Peri Coloso
Almarhum Presiden Soekarno pernah mempopulerkan istilah “Vivere Peri Coloso”, sebuah istilah dalam bahasa Itali yang artinya lebih kurang: “nyerempet-nyerempet bahaya”. Dan begitulah sesungguhnya dunia usaha. Seorang pengusaha yang ingin tetap hadir dalam blantika bisnis, harus berani “nyerempet-nyerempet bahaya”. Memberikan pelayanan yang baik tanpa harus menyogok, bersaing harga tanpa harus melakukan “dumping” dan lain sebagainya. Dan untuk itu diperlukan naluri bisnis yang tinggi dan peka.
Kabar baiknya adalah bahwa para wirausahawan sejati ternyata arif dengan hal itu. Seorang adik saya yang dalam manuver “BODOL”nya menggandeng seorang “pangeran” dari dinasti Bakrie, menceritakan sesuatu yang menarik. Ia berkisah bahwa dalam sebuah rapat, sang pangeran memberikan pengarahannya bahwa dunia bisnis itu memang dunia yang penuh risiko, penuh dengan intrik, agitasi dan provokasi, sehingga diperlukan kelihayan tertentu untuk mengatasi semua itu. Namun begitu – demikian sang pangeran – bukan tidak mungkin suatu waktu, seorang pengusaha akan tersandung dan terjerembab ke dalam suatu manuver bisnis yang dapat menyebabkan dirinya disorot masyarakat sebagai tokoh bisnis yang memiliki kecenderungan serakah.
Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam itu, seorang pengusaha perlu selalu ingat, bahwa dirinya bekerja untuk orang lain, untuk masyarakat banyak. Dan itu harus diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata, seperti ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan sosial, misalnya dengan menyumbang ke panti-panti asuhan, menyokong dunia pendidikan, mendirikan tempat-tempat ibadah, rumah sakit dan lain sebagainya.
Syukur alhamdulillah, baru-baru ini majalah “Swa” memberitakan bahwa beberapa tokoh pengusaha sukses ternyata telah aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, yang secara langsung mau pun tidak langsung, telah menggambarkan diri mereka sebagai figur yang tidak serakah, karena telah nyata-nyata bekerja untuk kepentingan orang banyak. Di antara para pengusaha yang tampil sebagai philanthropist (dermawan) itu terdapat antara lain: Sudamek (Kacang Garuda), Jakob Oetama (Kompas), Martha Tilaar (Martina Berto), Raam Punjabi (Multivision Plus), Rudy J. Pesik (Birotika Semesta/DHL), Soedarpo Sastrosatomo (Samudera Indonesia), Sofyan Wanandi (Gemala Group) dan lain-lain.
Orang terkaya di dunia pun, Bill Gates, yang selama ini ditengarai sebagai tokoh bisnis yang serakah, ternyata merupakan seorang dermawan pula. Ia menyumbangkan banyak dana untuk kepentingan pemberantasan penyakit AIDS dan malaria, melalui “Bill and Melinda Gates Foundation”. Dan jangan kaget, kalau biang kerok krisis keuangan George Soros pun ternyata termasuk dalam barisan para philanthropist. Ia konon telah merelakan uangnya sebesar 5.40 milyar dolar Amerika untuk kepentingan sosial.
Kita berdoa, semoga makin banyak wirausahawan, kecil mau pun besar, yang tidak sudi terperosok ke dalam jebakan keserakahan, untuk makin menunjukkan dirinya sebagai pengusaha dermawan yang peduli pada sesama.