BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim, sangatlah penting bagi kita untuk
mempelajari ilmu hadits, sebab hadits adalah sumber hukum tertinggi
setelah Al-Qur’an. Banyak hukum/syariat Islam yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an, namun ada dalam hadits.
Melalui makalah ini kami mencoba mengulas tentang tahammul hadits,
sebab kedudukan tahammul hadits ini sangat penting dalam proses
penyebaran al-Hadits.
- Rumusan Masalah
- Apa pengertian tahammul hadits ?
- Bagaimana kriteria tahammul ?
- Apa syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits ?
- Bagaimana metode yang digunakan dalam tahammul hadits ?
- Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah selain untuk menambah
wawasan dan pengetahuan kita tentang hadits, ia juga untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Tahammul Hadits
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala
(تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau
biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut
bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan
tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana
tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru.”
2.2. Kelayakan Tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf.
Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Yang benar adalah
pendapat mayoritas ulama itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu
setelah mereka menerima wirayat sahabat yang masih berusia anak-anak,
seperti Hasan, Husan, Abdullah ibn Az-Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah
ibn Abbas, Abu Sa’id Al-Khudriy, Mahmud ibn Ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa
memilah-milah antara wirayat yang mereka terima sebulum dan sesudah
baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendenagar hadits yang dilakukan
oleh anak kecil, berbeda pendapat dengan batas usianya. Karena hal itu
tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil itu. Dan tamjiz ini
jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Namun demikian
mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka, dan kita
bisa meringkas penjelasan itu kedalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh
pendapat ini adalah wirayat Imam Bukhari dalam sahihnya dari hadits
Muhammad ibn Ar- Rabi’ ra. Katanya : “Aku masih ingat firman Nabi SAW.
Dari timbah kemukaku, dan (ketika itu) berusiah lima tahun”.
Kedua, pendapat Al-Hafidz Musa ibn Harun Al- Hammal, yaitu bahwa
kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia
telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa
yang beliau maksudkan adalah “tamyiz”. Beliau menjelaskan pengertian
tamyiz dengan kehidupan disekitar.
Ketiga, keabsahan setiap anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan
pada adanya tamyiz. Bila anak terlah memahami pembicaraan dan mampu
memberikan jawaban, maka ia sudah tamyiz dan absah pendengarannya,
meskipun usianya masih di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami
pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya
mendengar hadits tidak absah, meskipun usianya di atas lima tahun.
2.3. Syarat-Syarat Perawi Dalam Tahammul Hadits.
- Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan
Ijma’ Ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta atau
tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima
riwayatnya berarti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana
mungkin riwayat perusak Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah Azza
Wa Jalla juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh
fasik, melalui Firman-Nya:
“يا أيها الذين آمنوا، عندما يتعلق الأمر للشرير يجلب رسالة، ثم تحقق بعناية بحيث لا تسبب كارثة لشعب دون معرفة الظروف التي تسبب لك آسف على ما فعلته.“
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).
- Baligh
Usia baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap
pembicaraan dan memahami hukum-hukum syariat. Kerena itu keberadaan
takif dikaitkan dengannya. Yang jelas, yang diaksud baligh disini adalah
adanya akal sehat disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi
basah. Oleh kerena adanya sebagai ulama’ muta’akhkhirin yang
mensyaratkan baigh dan berakal sehat. Sedangkan ulama mutaqaddimin
mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal. Kerena umumnya tidak
dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sehat.
- Sifat adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong
pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri, sehingga
jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjahui dosa besar termasuk
didalamnya.juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan
sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan di jalan, buang air
kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan
daam berkelakar.
- Dhabt
Yaitu kerjagaan seseorang perawi ketika menerima hadits dan
memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikannya kepada orang alain. Dhabt mencakup hapalan dan tulisan,
maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan
dari hafalannya, dan mamahami tulisannya dariadanya perubahan,
penggantian, atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
2.4. Metode- Metode Tahamul Hadist
- As-Sima ( السماع , mendengar).
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’
ataupun untuk yang lain. menurut mayoritas ulama’, metode ini berada di
peringkat tertinggi.
- Al-Qira’ah Ala asy-Syeikh ( القراءة على الشيخ).
Yaitu membaca di hadapan guru). Sebagian besar ulama hadits menyebutnya Al-‘Aradh ( العرض, penyodoran). Ada juga menyebutnya hadits ‘Ardh al-Qira’ah ( عرض القراءة menyodorkan bacaan).
Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika
ia menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah
seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun
dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau
menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari
naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Imam Ahmad
menyaratkan pembaca harus mengerti dan memahami bacaannya itu. Sedang
Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca
mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak
absah.
- Al-Ijazah ( الإجازة, sertifikasi atau rekomendasi).
Seorang murid atau guru membunyikan hadits-hadits yang
bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak. Sedangkan ijazah ini
merupakan jenis metode tahammul yang baru dan berbeda sama sekali. Namun
masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk
meriwayatkan sebagian riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang
atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semu
hadits yang diijazahkan, karena itu, ada ulama’ yang memperbolehkannya
dan ada yang tidak.
Kata Al-Ijazah secara etimologi diambil dari kata :
جَوَارُ المَاءِ الَّذِيْ سَقَاةُ المَالَ مِنَ المَاشِيَّةِ وَالحَرْثِ .
Mengalirkan air yang digunakan untuk menyiram kekayaan berupa binatang ternak atau persawahan.
Ulama’ mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria
dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli
hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang
ada pada murid harus dibandingkan dengan naskah aslinya sampai
benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki
posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu
tidak pada tempat atau ahlinya.
- Al-Munawalah ( المناولة )
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits,
beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid
meriwayatkannya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab
kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah
riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan : Riwayatkanlah ia
dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku).
Sebagian ulama’ memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain
tidak memperbolehkannya.
- Al-Mukatabah ( المكاتبة )
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta
orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang
ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu
mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.
Mukatabah ini memiliki dua bagian :
Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikannya ijazah kepadanya.
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama’ yang melarang meriwayatkan darinya.
Kami tidak menemukan alasan disyaratkannya ijazah dalam mukatabah.
Karena perawi-perawi terkemuka sering mengambil kitabah tanpa ijazah.
Al-Khathib al-Baqhdadiy menganjurkan agar penulisan dilakukan oleh ahli
hadits sendiri, namun tidak menilainya sebagai kewajiban.
- I’lam asy-Syeikh ( إعلام الشيخ )
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa
hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari
riwayat-riwayat miliknya dan telah didengarnya atau diambilnya dari
seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara
jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski
dengan pemberitahuan seperti biasa itu saja, sebagian besar ulama’
memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan
semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari
guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa
kejujuran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku
mendengar apa yang tidak didengarnya. Dan pemberitahuannya kepada
muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya.
Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama’ mutaqaddimin,
seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama’ muta’akhkhirin. Sebagian
ulama’ mengatakan, metode semacam itu harus disertai dengan ijazah, agar
periwayatannya darinya bisa berstatus shahih.
- Al-Washiyyah (الوصية )
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau
sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang
untuk meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul
yang amat langka. Ulama’ muta’akhkhirin menghitungkan dalam jajaran
metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama’ salaf tentang
wasit kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah
riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy ( – 104H)
mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68 – 131 H). Lalu
kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan
kendaraan unta.
Sebagian mereka yang memperbolehkan periwayatan tahammul dengan
metode wasiat memberikan alasan, bahwa memberikan kitab-kitab kepada
yang diwasiati mengandung satu jenis ijin dan hampir sama dengan ‘ardh dan munawalah, bahkan dekat dengan jenis I’lam.
Metode ini merupakan metode tahammul yang paling lemah. Yang diberi wasiat tidak diperbolehkan meriwayatkan dari yang mewasiatkan, menurut mayoritas ulama’.
- Al-Wijadah (penemuan) (الوجادة )
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,
bentuk yang tidak analogis. Ulama’ hadits menggunakannya dengan
pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses
mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya,
seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah
mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak,
atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa
tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui
kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun
dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnya yang
mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan.
Ada riwayat akurat dari sebagian ulama’ salaf, bahwa mereka
meriwayatkan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab. Namun demikian
periwayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka.
Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung
melalui mendengar atau menyodorkan kitab.
Periwayatan dengan cara wijadah pada masa tabi’in tidak lebih dari
beberapa hadits saja yang telah dikenal oleh ahli hadits, dan tak
seorangpun meriwayatkannya kecuali setelah merasa yakin dengan
keshahihan penisbatan kitab yang bersangkutan kepada penulisnya. Salah
satu buktinya adalah pemberitahuan yang diberikan oleh pelaku periwayat
dengan cara wijadah itu sendiri. Di samping itu, tidak diriwayatkan dari
seorang pun yang menggunakan cara wijadah mengatakan : “Telah
meriwayatkan kepada kami”, atau “Telah memberikan khabar kepada kami”
atau ungkapan lain yang senada. Ia pasti mengatakan : Kami menemukan
dalam kitab si Fulan, atau kami membaca begini dalam kitab si Fulan.
Seorang perawi yang menggunakan cara wijadah tidak boleh menisbatkan
riwayatnya kepada pemilik kitab bila ia merasa ragu terhadap penisbatan
kitab itu kepada pemilik yang bersangkutan, kecuali dengan menunjukkan
keraguannya itu. Misalnya dengan mengatakan : “Saya mendengar dari si
Fulan, atau Saya menemukan dalam satu kitab yang saya duga milik di
Sulan”. Semua itu berkenaan dengan periwayatan melalui metode wijadah.
Wijadah yang bisa dipercaya, yang memiliki kejelasan penisbatan kitab
yang bersangkutan kepada penulisnya melalui metode-metode ilmiah yang
beragam, derajatnya tidak jauh berbeda di bawah tahammul dengan cara
ijazah. Karena ijazah pada hakekatnya adalah wijadah yang disertai ijin
secara jelas dari guru untuk meriwayatkan
BAB III
PENUTUP
Tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau
menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama
ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits
adalah: Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para
syaikh atau guru.
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang
dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia takluf.
Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya.
Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits yaitu:
- Islam
- Baligh
- Sifat adil
- Dhabt
Metode- metode yang digunakan dalam tahamul hadist yaitu:
- As-Sima ( السماع , mendengar).
- Al-Qira’ah Ala asy-Syeikh ( القراءة على الشيخ).
- Al-Ijazah ( الإجازة, sertifikasi atau rekomendasi).
- Al-Munawalah ( المناولة )
- Al-Mukatabah ( المكاتبة )
- I’lam asy-Syeikh ( إعلام الشيخ )
- Al-Washiyyah (الوصية )
- Al-Wijadah (penemuan) (الوجادة )
DAFTAR PUSTAKA
- Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung, CV. Pustaka Setia
Mahmud Thohan. 1985. Terjemah Tafsir Mushtholah Hadits. Songgopuro. haramain