Kadang-kadang
hal di depan mata bisa terlewatkan begitu saja. Bagi sebagian orang,
perbedaan kecenderungan antara laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu
yang tak dapat diterima. Meski perbedaan itu adalah gejala universal,
mereka tetap teguh mengganggap hal tersebut sebagai akibat konstruksi
sosial yang dibangun dengan sewenang-wenang.
Bagi
para ilmuwan, klaim tentang adanya konstruksi sosial gender adalah hal
yang aneh. Laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Bukan karena
konstruksi sosial, melainkan karena secara biologis memang berbeda
sehingga kecenderungan psikologis antar keduanya otomatis juga
berlainan. Fenomena itu terwujud nyata di berbagai kebudayaan, kelas,
etnis, agama, baik di masa kini maupun di masa lampau.
Penjelasan
ilmiah semacam itu sayangnya sering dinilai tidak relevan. Para
penentang justru gencar mengkritik institusi sains yang dianggap sama
tak beresnya dengan institusi lain yang meminggirkan perempuan,
khususnya sejak dekade 1990-an.
Helena
Cronin, filsuf ilmu alam dan salah seorang direktur di Centre for
Philosophy of the Natural and Social Science, menganggap pengabaian
tersebut adalah tindakan keliru. Dalam esai Darwinian Insights into Sex and Gender,
dia mengatakan bahwa pemahaman ilmiah justru sangat berguna dalam
membantu kita bagaimana seharusnya memandang persoalan kesenjangan
gender.
Buah Seleksi Alam
Semuanya
bermula pada satu miliar tahun silam, ketika organisme yang
bereproduksi secara seksual bermunculan. Strategi reproduksi model baru
itu memerlukan dua hal, yakni berkompetisi untuk memperoleh pasangan
serta mengasuh keturunan. Dua tugas tersebut awalnya dilakukan sama rata
oleh kedua jenis kelamin. Namun, karena tidak stabil, sejumlah
organisme mulai mengembangkan spesialisasi, khususnya dalam memproduksi
sel kelamin.
Sebagian
menghasilkan sel sperma yang aktif tapi miskin nutrisi dalam jumlah
besar, sebagian lain menghasilkan sel telur yang pasif tapi kaya nutrisi
dalam jumlah sedikit. Pemisahan itu makin melebar dari generasi ke
generasi karena terbukti memberi keuntungan dalam menghadapi seleksi
alam. Setelah melewati waktu evolusi yang panjang, perbedaan
antarkeduanya pun begitu mencolok: yang satu cenderung berkompetisi
meraih pasangan, sementara yang satu cenderung memfokuskan diri dalam
mengasuh keturunan.
Pada
manusia, pembagian tugas berlangsung dengan cara yang lebih halus.
Kendati pada mulanya hanya persoalan strategi reproduksi, namun hal itu
telah merembes hingga jauh ke dalam psikologis, yang tentu saja
mempengaruhi perbedaan prioritas, emosi, harapan, dan hasrat kita.
Kecenderungan
psikologis tersebut telah dibuktikan dalam berbagai penelitian yang
berskala luas. Salah satu contohnya adalah tentang kecemburuan seksual.
Teori Darwin memprediksi bahwa kecemburuan laki-laki akan terpusat pada
ketaksetiaan seksual karena berkaitan erat dengan rasa unggul dalam
persaingan, sementara kecemburuan perempuan lebih terfokus pada hal yang
berkaitan dengan sisi emosional karena membutuhkan rasa aman dan nyaman
guna mengasuh keturunan.
Persis
demikianlah yang didapat. Dalam sebuah penelitian, 85 persen perempuan
menyebutkan bahwa ketaksetiaan emosional sangat mengganggu mereka,
sedangkan dari pihak laki-laki hanya 40 persen yang merasakan hal itu.
Penelitian semacam ini telah diulang berkali-kali dalam beragam
kebudayaan serta menggunakan berbagai parameter psikologis.
Ada
sebuah contoh lain yang lebih menarik. Pada 1960, di Amerika Serikat,
sebuah tindakan sirkumsisi yang ceroboh membuat seorang anak laki-laki
mengalami kerusakan penis parah sehingga dokter memutuskan melakukan
amputasi. Selanjutnya mereka mencoba mengubah si anak menjadi perempuan
melalui kastrasi (kebiri), pembedahan, dan terapi hormon. Nama John
diubah menjadi Joan, didandani sebagai perempuan, dan diberi boneka. Dia
pun tumbuh menjadi seorang gadis.
Pada
1973, John Money, seorang psikolog beraliran Freud, mengeluarkan
pernyataan fantastis bahwa Joan adalah remaja yang sukses direkayasa
dengan baik dan kasusnya dianggap menyudahi semua spekulasi terdahulu:
peran gender dapat dibangun lewat pendekatan sosial.
Kenyataan
sesungguhnya baru terungkap pada 1997 ketika keberadaan Joan dilacak
kembali. Kontras dengan pernyataan Money, Joan menuturkan bahwa di masa
kanak-kanak dia sangat tidak bahagia. Dia selalu ingin memakai celana
panjang, bercampur dengan anak laki-laki, dan buang air kecil sambil
berdiri. Saat berumur 14 tahun, dia mengetahui kejadian yang
sesungguhnya dan itu justru membuatnya lega. Dia pun menghentikan terapi
hormon, mengubah kembali namanya menjadi John, kembali menjalani hidup
sebagai laki-laki, menjalani operasi pengangkatan payudara, dan pada
usia 25 tahun menikahi seorang janda serta mengadopsi anak.
John
kini menjadi bukti telak yang berbalik 180 derajat dari penyataan Money
sebelumnya: yang berperan dalam penentuan gender adalah faktor bawaan,
bukan rekayasa sosial. Bukti makin diperkuat dengan sejumlah penelitian
di bidang neurologi dan genetika yang senantiasa mengarah pada
kesimpulan serupa.
Sains dan Keadilan Gender
Jika
gejala tersebut demikian universal―melitasi bermacam kebudayaan, kelas,
etnis, agama, sejarah, dan jenjang usia―mengapa perbedaan gender masih
saja dikatakan sebagai hasil konstruksi sosial? Padahal, sains telah
menunjukkan dan menjelaskan mengapa semua perbedaan itu bisa terjadi.
Perbedaan gender adalah karakter yang tak terpisahkan dari spesies
manusia. Karakter itu telah mengantarkan kita melewati bermacam bentuk
seleksi alam yang senantiasa ada dan berubah.
Yang
keliru bukan perbedaan gender, melainkan ketidakadilan. Ketidakadilan
itulah yang harus diperangi, bukan sains. Pemahaman ilmiah sudah
seharusnya diterima. Sains memang tak bisa mendikte norma dan tujuan
yang harus kita sasar, tapi sains dapat membantu kita mencapai tujuan
itu. Pemahaman keilmuan soal bagaimana psikologis laki-laki dan
perempuan bisa demikian berbeda bisa menolong kita untuk memikirkan
kebijakan yang adil untuk kedua belah pihak.