Belum lama ini, penerbit Elex Media Komputindo (Gramedia Group)
meluncurkan sebuah buku yang berjudul “Siapa Bilang Karyawan Tidak Bisa
Kaya” kepada masyarakat yang memang haus akan buku-buku kiat sukses
kehidupan. Buku buah karya Safir Senduk itu rupanya memang sangat
menarik, terbukti dari cukup hangatnya sambutan dari berbagai kalangan
di masyarakat. Tidak heran kalau kemudian, beberapa orang pembaca yang
merasa terinspirasi, lantas membawa isu ini ke berbagai milis internet.
Tanpa diduga, naiknya judul buku tersebut ke dunia maya, telah
mengundang adu argumentasi antara sejumlah peserta milis yang mendukung
ide bahwa karyawan pun bisa menjadi kaya, melawan sekelompok peserta
lainnya yang menentang ide dimaksud. Kelompok terakhir ini, yang hampir
seluruhnya merupakan para wirausahawan, berkilah bahwa sekaya-kayanya
seorang karyawan akan lebih kaya seorang majikan (note bene adalah
pengusaha) yang mempekerjakan karyawan.
Sebenarnya, masalah apakah
yang dijadikan fokus perdebatan tersebut? Apakah hanya semata-mata
soal jumlah kekayaan yang akan mampu diraih seorang pengusaha dibanding
yang mungkin bisa dikumpulkan seorang karyawan?
Saya menyempatkan
diri untuk berfikir sejenak seusai membaca berbagai e-mail yang terlibat
dalam wacana ini. Saya merasakan adanya aroma persaingan, antara satu
kelompok sosial yang terdiri dari orang-orang yang berprofesi sebagai
karyawan, dengan kelompok lain yang menyatakan dirinya sebagai kelompok
entrepreneur. Ada nuansa yang merefleksikan “upaya perlawanan” kelompok
karyawan yang selama ini dianggap “tidak mungkin bisa kaya”, terhadap
dominasi kelompok pengusaha yang sudah terlanjur menjadi simbol kekayaan
serta kesuksesan.
Kenapa dua kelompok profesi itu harus saling
bertentangan, sampai “berseteru” di internet? Bukankah semua tahu bahwa
seharusnya mereka saling membutuhkan?
Bila seorang entrepreneur mengkampanyekan isu kewirausahaan agar orang lain mau menjadi “Business Owner”, itu adalah hal yang baik dan sah-sah saja. Tapi pasti bukan dengan maksud agar semua orang menjadi pengusaha sehingga tidak ada lagi orang yang mau menjadi karyawan, bukan? Sebaliknya, bila seorang pekerja mengklaim bahwa profesi sebagai karyawan merupakan sebuah kemuliaan, itu juga hal yang sangat benar, dan tak perlu dibantah. Tapi tentunya bukan semata-mata karena ingin kaya, kan?
Bila seorang entrepreneur mengkampanyekan isu kewirausahaan agar orang lain mau menjadi “Business Owner”, itu adalah hal yang baik dan sah-sah saja. Tapi pasti bukan dengan maksud agar semua orang menjadi pengusaha sehingga tidak ada lagi orang yang mau menjadi karyawan, bukan? Sebaliknya, bila seorang pekerja mengklaim bahwa profesi sebagai karyawan merupakan sebuah kemuliaan, itu juga hal yang sangat benar, dan tak perlu dibantah. Tapi tentunya bukan semata-mata karena ingin kaya, kan?
Nah, sekarang,
coba bayangkan, apabila para pengusaha harus menjalankan usahanya tanpa
dukungan seorang karyawan pun, masih mungkinkah Robert Kiyosaki
mengelompokkan orang-orang ini di kuadran “B”? Di lain pihak, kalau
karyawan mau bekerja, tapi tidak ada pengusaha yang membayar gajinya,
masihkah kelompok ini ditempatkan di kuadran “E”?
Saya rasa, jelas dan gamblang, jawabannya adalah: tidak. Kenapa?
Sebab, bila terjadi keadaan seperti itu, di mana pengusaha bekerja tanpa karyawan (karena tidak ada lagi orang yang mau jadi karyawan), dan karyawan bekerja tanpa majikan (karena jadi karyawan toh sudah bisa kaya), maka kedua-duanya akan terlempar ke kuadran S, kuadrannya orang-orang yang berstatus “Self Employed” !
Saya rasa, jelas dan gamblang, jawabannya adalah: tidak. Kenapa?
Sebab, bila terjadi keadaan seperti itu, di mana pengusaha bekerja tanpa karyawan (karena tidak ada lagi orang yang mau jadi karyawan), dan karyawan bekerja tanpa majikan (karena jadi karyawan toh sudah bisa kaya), maka kedua-duanya akan terlempar ke kuadran S, kuadrannya orang-orang yang berstatus “Self Employed” !
Hal ini tentu memberi
pencerahan kepada kita bahwa mempertentangkan kedua kuadran “E” dan “B”
akan merupakan pekerjaan yang “jauh panggang dari api”. Setiap orang
menjalankan karmanya masing-masing, yang satu berbeda dengan yang lain.
Biarlah mereka yang garis tangannya menjadi karyawan, berbahagia dengan
kehidupannya sebagai karyawan berikut segala suka dan dukanya. Dan
biarlah mereka yang ditakdirkan menjadi pengusaha tetap berbahagia
dengan status pengusahanya, lengkap pula dengan segala suka dukanya.
Semua profesi adalah terhormat, dan tidak ada satu profesi yang lebih
terhormat dari profesi yang lain. Yang jelas, setiap profesi merupakan
satu komponen dari sebuah jaringan maha besar dalam kehidupan ini, yaitu
“interdependency”, di mana setiap orang memiliki ketergantungan pada
orang lainnya.