Monday, December 15, 2014

KUADRAN “E” Versus KUADRAN “B”



Belum lama ini, penerbit Elex Media Komputindo (Gramedia Group) meluncurkan sebuah buku yang berjudul “Siapa Bilang Karyawan Tidak Bisa Kaya” kepada masyarakat yang memang haus akan buku-buku kiat sukses kehidupan. Buku buah karya Safir Senduk itu rupanya memang sangat menarik, terbukti dari cukup hangatnya sambutan dari berbagai kalangan di masyarakat. Tidak heran kalau kemudian, beberapa orang pembaca yang merasa terinspirasi, lantas membawa isu ini ke berbagai milis internet.
 
Tanpa diduga, naiknya judul buku tersebut ke dunia maya, telah mengundang adu argumentasi antara sejumlah peserta milis yang mendukung ide bahwa karyawan pun bisa menjadi kaya, melawan sekelompok peserta lainnya yang menentang ide dimaksud. Kelompok terakhir ini, yang hampir seluruhnya merupakan para wirausahawan, berkilah bahwa sekaya-kayanya seorang karyawan akan lebih kaya seorang majikan (note bene adalah pengusaha) yang mempekerjakan karyawan.
 
Sebenarnya, masalah apakah yang dijadikan fokus perdebatan tersebut? Apakah hanya semata-mata soal jumlah kekayaan yang akan mampu diraih seorang pengusaha dibanding yang mungkin bisa dikumpulkan seorang karyawan?
 
Saya menyempatkan diri untuk berfikir sejenak seusai membaca berbagai e-mail yang terlibat dalam wacana ini. Saya merasakan adanya aroma persaingan, antara satu kelompok sosial yang terdiri dari orang-orang yang berprofesi sebagai karyawan, dengan kelompok lain yang menyatakan dirinya sebagai kelompok entrepreneur. Ada nuansa yang merefleksikan “upaya perlawanan” kelompok karyawan yang selama ini dianggap “tidak mungkin bisa kaya”, terhadap dominasi kelompok pengusaha yang sudah terlanjur menjadi simbol kekayaan serta kesuksesan.
 
Kenapa dua kelompok profesi itu harus saling bertentangan, sampai “berseteru” di internet? Bukankah semua tahu bahwa seharusnya mereka saling membutuhkan?
Bila seorang entrepreneur mengkampanyekan isu kewirausahaan agar orang lain mau menjadi “Business Owner”, itu adalah hal yang baik dan sah-sah saja. Tapi pasti bukan dengan maksud agar semua orang menjadi pengusaha sehingga tidak ada lagi orang yang mau menjadi karyawan, bukan? Sebaliknya, bila seorang pekerja mengklaim bahwa profesi sebagai karyawan merupakan sebuah kemuliaan, itu juga hal yang sangat benar, dan tak perlu dibantah. Tapi tentunya bukan semata-mata karena ingin kaya, kan?
 
Nah, sekarang, coba bayangkan, apabila para pengusaha harus menjalankan usahanya tanpa dukungan seorang karyawan pun, masih mungkinkah Robert Kiyosaki mengelompokkan orang-orang ini di kuadran “B”? Di lain pihak, kalau karyawan mau bekerja, tapi tidak ada pengusaha yang membayar gajinya, masihkah kelompok ini ditempatkan di kuadran “E”?
Saya rasa, jelas dan gamblang, jawabannya adalah: tidak. Kenapa?
Sebab, bila terjadi keadaan seperti itu, di mana pengusaha bekerja tanpa karyawan (karena tidak ada lagi orang yang mau jadi karyawan), dan karyawan bekerja tanpa majikan (karena jadi karyawan toh sudah bisa kaya), maka kedua-duanya akan terlempar ke kuadran S, kuadrannya orang-orang yang berstatus “Self Employed” !
 
Hal ini tentu memberi pencerahan kepada kita bahwa mempertentangkan kedua kuadran “E” dan “B” akan merupakan pekerjaan yang “jauh panggang dari api”. Setiap orang menjalankan karmanya masing-masing, yang satu berbeda dengan yang lain. Biarlah mereka yang garis tangannya menjadi karyawan, berbahagia dengan kehidupannya sebagai karyawan berikut segala suka dan dukanya. Dan biarlah mereka yang ditakdirkan menjadi pengusaha tetap berbahagia dengan status pengusahanya, lengkap pula dengan segala suka dukanya. Semua profesi adalah terhormat, dan tidak ada satu profesi yang lebih terhormat dari profesi yang lain. Yang jelas, setiap profesi merupakan satu komponen dari sebuah jaringan maha besar dalam kehidupan ini, yaitu “interdependency”, di mana setiap orang memiliki ketergantungan pada orang lainnya.