Bulan
Charles Darwin baru saja berakhir. Keriuhan dalam perayaan 200 tahun
kelahiran dan 150 tahun kemunculan kitab fenomenalnya, The Origin of Species,
mulai berangsur senyap. Sambil membersihkan sisa-sisa pesta,
keingintahuan akan masa depan pun merayap naik: apakah evolusi manusia
sudah berakhir seperti nasib perayaan ini?
Siapa pun yang memegang teguh gagasan
Darwin seharusnya menolak memberi kata sepakat atas pertanyaan tersebut.
Evolusi organik adalah peristiwa yang pasti, sama pastinya dengan bumi
mengelilingi matahari. Tidak ada makhluk yang bisa menghindar.
Keanekaragaman, eksis, atau punahnya suatu spesies diputuskan sepenuhnya
oleh seleksi alam, penggerak utama evolusi, dan itu juga berlaku untuk Homo sapiens.
Rata-rata keberlangsungan hidup sebuah
spesies mencapai beberapa juta tahun. Setiap tahun, ribuan spesies
dinyatakan punah dan ribuan lainnya muncul menggantikan. Tidak ada
jaminan apakah kelak manusia dapat terhindar dari kedua fakta tersebut.
Uniknya sejumlah penganut Darwinian
justru berpendapat sebaliknya. Manusia terlalu berbeda sehingga tidak
bisa disamakan dengan spesies lain. Manusia memiliki keunggulan dalam
teknologi, pengaturan energi, penggunaan sandang, organisasi sosial, dan
kemampuan berbahasa tingkat tinggi. Pendek kata, manusia adalah
satu-satunya spesies yang mampu menghindari evolusi.
Salah satu argumen termasyhur disampaikan oleh Steve Jones dalam debat bertajuk Is Evolution Over?
di Royal Society Edinburgh tujuh tahun silam, "Jika Anda ingin tahu
seperti apa utopia, lihat saja sekeliling. Keadaan lebih baik atau lebih
buruk telah berhenti untuk spesies kita."
Argumen Jones disokong penuh oleh Peter Ward, ilmuwan ternama yang bertugas di University of Washington. Lewat Future Evolution
(2001), Ward sama sekali tidak melihat perubahan akan melanda manusia.
Gaya hidup terkini, khususnya di negara-negara maju, telah melindungi
manusia dari tekanan evolusi.
"Orang-orang sekarang bisa hidup lebih lama, lebih kuat, dan lebih sehat," tulisnya.
Beberapa pakar lain memilih jalan yang
lebih aman. Mereka menganggap evolusi manusia masih terus berlangsung.
Bukan di tataran fisik, melainkan kultur. Ke depan, perubahan signifikan
hanya terjadi pada wilayah perilaku, kecenderungan sosial, dan
intelegensi.
Arus berlawanan pun datang dari Chris
Stringer yang bergiat di Natural History Museum, London. Menurut dia,
terlalu naif jika manusia berpendapat bahwa dirinya bernilai jauh lebih
istimewa di hadapan seleksi alam ketimbang spesies lain.
"Kalau menyimak kembali orang-orang Zaman Batu di Eropa sekitar 50 ribu tahun silam (Homo neanderthalensis),
Anda pasti berasumsi mereka akan berevolusi menjadi lebih besar dan
kuat. Kemudian, dengan cukup tiba-tiba, mereka justru kalah bersaing dan
digantikan oleh spesies yang bertubuh lebih ringan, tinggi, dan lebih
cerdas yang berdiaspora dari Afrika (Homo sapiens). Anda tidak dapat memprediksi ke arah mana evolusi bakal melaju," kata Stringer.
Maklumat Stringer semakin jelas terasa dengan terbitnya The 10,000 Year Explosion: How Civilization Accelerated Human Evolution
karya Gregory Cochran dan Henry Harpending. Dalam buku yang baru
berumur sebulan itu, tertera bahwa sejak ditemukannya pertanian dan
mencuatnya masyarakat perkotaan, manusia telah berevolusi 100 kali lebih
cepat.
Meski masih sengit diperdebatkan, data
tersebut setidaknya menunjukkan kemajuan dan teknologi yang dihasilkan
tidak serta-merta melindungi manusia dari jepitan seleksi alam. Kita
memang tidak tahu apa yang menunggu di depan sana, namun itu bukan
berarti spesies kita aman dari evolusi.
Gagasan yang bisa kita ciptakan
memang hebat, teknologi yang kita lahirkan juga luar biasa canggih.
Tetapi, segenap makhluk tetap harus tunduk pada Hukum Kedua Orgel:
"Evolusi lebih pintar dari Anda semua."