Begitu dahsyatnya sehingga para ilmuwan di NASA (National Aeronautics and Space Admistration)
mulai berpikir untuk memanfaatkannya sebagai tenaga yang bisa
‘melemparkan’ pesawat luar angkasa ke luar atmosfer bumi! Kenapa sampai
muncul ide ini? Bukankah mesin roket yang biasanya digunakan untuk
mengirim pesawat-pesawat ke luar bumi sudah cukup berhasil? Sebenarnya
semua mesin roket yang sudah digunakan maupun yang sedang dikembangkan
saat ini tetap membutuhkan bahan khusus sebagai pendorongnya.
Bahan-bahan propellant ini bisa berupa bahan kimia seperti yang sudah
banyak digunakan, bisa juga berupa hasil reaksi fusi nuklir yang
teknologinya dikembangkan di awal abad 21 ini. Ada lagi berbagai
teknologi inovatif seperti light propulsion dan antimatter propulsion.
Penggunaan propellant ini sebenarnya sangat membatasi kecepatan dan jarak maksimum yang dapat dicapai pesawat. Karena itulah muncul ide untuk mengirimkan pesawat luar
angkasa menggunakan teknologi yang sama sekali tidak melibatkan propellant. Sistem apa yang bisa ‘melemparkan’ pesawat yang begitu besar dan berat ke luar angkasa tanpa menggunakan propellant sama sekali? Hanya Elektromagnetika yang bisa menjawabnya!
Elektromagnetika merupakan penggabungan listrik dan magnet. Sewaktu kita mengalirkan listrik pada sebuah kawat kita bisa menciptakan medan magnet. Listrik dan magnet benar-benar tidak terpisahkan kecuali dalam superkonduktor tipe I yang menunjukkan Efek Meissner (bahan superkonduktor dapat meniadakan medan magnet sampai pada batas tertentu). Ini bisa dibuktikan dengan cara meletakkan kompas di dekat kawat tersebut. Jarum penunjuk pada kompas akan bergerak karena kompas mendeteksi adanya medan magnet. Elektromagnetika
sudah banyak dimanfaatkan dalam membuat mesin motor, kaset, video, speaker (alat pengeras suara), dan sebagainya. Sekarang giliran proyek luar angkasa yang ingin memanfaatkan kedahsyatannya!
David Goodwin dari Office of High Energy and Nuclear Physics di Amerika adalah orang yang mengusulkan ide electromagnetic propulsion ini. Saat sebuah elektromagnet didinginkan sampai suhu sangat rendah terjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’. Jika kita mengalirkan listrik pada magnet yang super dingin tersebut kita bisa mengamati terjadinya getaran (vibration) selama beberapa nanodetik (1nanodetik = 10-9 detik) sebelum magnet itu menjadi superkonduktor. Menurut Goodwin, walaupun getaran ini terjadi hanya selama beberapa nanodetik saja, kita tetap dapat memanfaatkan keadaan unsteady state (belum tercapainya keadaan tunak) ini. Jika getaran-getaran yang tercipta ini dapat diarahkan ke satu arah yang sama maka kita bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk ‘melempar’ sebuah pesawat ruang angkasa. Kekuatan ini tidak hanya cukup untuk ‘melempar’ secara asal-asalan, tetapi justru pesawat ruang angkasa bisa mencapai jarak maksimum yang lebih jauh dengan kecepatan yang lebih tinggi dari segala macam pesawat yang menggunakan propellant.
Untuk menerangkan idenya, Goodwin menggunakan kumparan kawat (solenoid) yang disusun dari kawat magnet superkonduktor yang dililitkan pada batang logam berbentuk silinder. Kawat magnetik yang digunakan adalah logam paduan niobium dan timah. Elektromagnet ini menjadi bahan superkonduktor setelah didinginkan menggunakan helium cair sampai temperatur 4 K (-269oC). Pelat logam di bawah solenoida berfungsi untuk memperkuat getaran yang tercipta. Supaya terjadi getaran dengan frekuensi 400.000 Hz, perlu diciptakan kondisi asimetri pada medan magnet. Pelat logam (bisa terbuat dari bahan logam aluminium atau tembaga) yang sudah diberi tegangan ini diletakkan secara terpisah (isolated) dari sistem solenoida supaya tercipta kondisi asimetri.
Selama beberapa mikrodetik sebelum magnet mulai berosilasi ke arah yang berlawanan, listrik yang ada di pelat logam harus dihilangkan. Tantangan utama yang masih harus diatasi adalah teknik untuk mengarahkan getaran-getaran yang terbentuk pada kondisi unsteady ini supaya semuanya bergerak pada satu arah yang sama. Untuk itu kita membutuhkan alat
semacam saklar (solid-state switch) yang bisa menyalakan dan mematikan listrik 400.000 kali per detik (yaitu sesuai dengan frekuensi getaran). Solid-state switch ini pada dasarnya bertugas untuk mengambil energi dari keadaan tunak dan mengubahnya menjadi pulsa listrik kecepatan tinggi (dan mengandung energi tinggi) sampai 400.000 kali per detiknya.
Energi yang digunakan untuk sistem elektromagnetik ini berasal dari reaktor nuklir (300 kW) milik NASA. Reaktor ini menghasilkan energi panas melalui reaksi fisi nuklir. Reaksi fisi nuklir ini melibatkan proses pembelahan atom yang disertai radiasi sinar gamma dan pelepasan kalor (energi panas) dalam jumlah sangat besar. Reaktor nuklir yang menggunakan ¾ kg uranium (U-235) bisa menghasilkan kalor yang jumlahnya sama dengan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran 1 juta galon bensin (3,8 juta liter). Energi panas yang dihasilkan
reaktor nuklir ini kemudian dikonversi menjadi energi listrik yang bisa digunakan untuk sistem electromagnetic propulsion ini. Ketika digunakan dalam pesawat luar angkasa, ¾ kg uranium sama sekali tidak memakan tempat karena hanya membutuhkan ruangan sebesar bola baseball. Dengan massa dan kebutuhan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan mesin roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat ke luar angkasa, pesawat yang menggunakan sistem elektromagnetik ini dapat mencapai kecepatan maksimal yang jauh lebih tinggi
sehingga bisa mencapai lokasi yang lebih jauh pula.
Menurut Goodwin pesawat dengan teknologi elektromagnetik ini dapat mencapai titik heliopause yang merupakan tempat pertemuan angin yang berasal dari matahari (solar wind) dengan angin yang berasal dari bintang di luar sistem tatasurya kita (interstellar solar wind). Heliopause terletak pada jarak sekitar 200 AU (Astronomical Unit) dari matahari. 1 AU merupakan jarak rata-rata bumi dari matahari yaitu sekitar 1,5.108 km. Planet terjauh dalam sistem tatasurya kita saja hanya berjarak 39,53 AU dari matahari. Semua pesawat luar angkasa yang menggunakan propellant tidak bisa mencapai jarak sejauh itu!
Tentu saja pesawat yang dipersenjatai elektromagnetik yang dahsyat ini masih sangat jauh dari sistem ideal yang kita inginkan. Karena walaupun pesawatnya bisa mencapai kecepatan sangat tinggi, kecepatan itu masih sangat kecil dibandingkan kecepatan cahaya (300.000 km per detik). Kecepatan maksimum yang bisa dicapai sistem ini masih di bawah 1% kecepatan cahaya. Padahal bintang yang terdekat dengan sistem tatasurya kita berada pada jarak lebih dari 4 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 300.000 km/detik x 60 detik/menit x 60 menit/jam x 24 jam/hari x 365 hari/tahun = 9,4608.1012 km). Perjalanan terjauh yang pernah ditempuh manusia adalah 400.000 km (yaitu perjalanan ke bulan).
Jika kita ingin mengirim pesawat tanpa awak pun kita masih membutuhkan ratusan tahun sebelum pesawat tersebut bisa mencapai bintang terdekat. Itu pun karena pesawatnya menggunakan teknologi elektromagnetik! Dengan pesawat yang menggunakan propellant bahan kimia kita baru bisa mencapai bintang terdekat dalam waktu puluhan ribu tahun. Jika kita ingin mencapai bintang terdekat dalam waktu lebih cepat seperti dalam film Star Trek kita membutuhkan teknologi yang bisa melampaui kecepatan cahaya. Selama teknologi itu masih
belum bisa dikembangkan, kita bisa memanfaatkan dulu teknologielektromagnetik yang ternyata memberikan alternatif yang cukup menjanjikan walaupun belum bisa mewujudkan impian kita untuk menjelajahi jagad raya.
Penggunaan propellant ini sebenarnya sangat membatasi kecepatan dan jarak maksimum yang dapat dicapai pesawat. Karena itulah muncul ide untuk mengirimkan pesawat luar
angkasa menggunakan teknologi yang sama sekali tidak melibatkan propellant. Sistem apa yang bisa ‘melemparkan’ pesawat yang begitu besar dan berat ke luar angkasa tanpa menggunakan propellant sama sekali? Hanya Elektromagnetika yang bisa menjawabnya!
Elektromagnetika merupakan penggabungan listrik dan magnet. Sewaktu kita mengalirkan listrik pada sebuah kawat kita bisa menciptakan medan magnet. Listrik dan magnet benar-benar tidak terpisahkan kecuali dalam superkonduktor tipe I yang menunjukkan Efek Meissner (bahan superkonduktor dapat meniadakan medan magnet sampai pada batas tertentu). Ini bisa dibuktikan dengan cara meletakkan kompas di dekat kawat tersebut. Jarum penunjuk pada kompas akan bergerak karena kompas mendeteksi adanya medan magnet. Elektromagnetika
sudah banyak dimanfaatkan dalam membuat mesin motor, kaset, video, speaker (alat pengeras suara), dan sebagainya. Sekarang giliran proyek luar angkasa yang ingin memanfaatkan kedahsyatannya!
David Goodwin dari Office of High Energy and Nuclear Physics di Amerika adalah orang yang mengusulkan ide electromagnetic propulsion ini. Saat sebuah elektromagnet didinginkan sampai suhu sangat rendah terjadi sesuatu yang ‘tidak biasa’. Jika kita mengalirkan listrik pada magnet yang super dingin tersebut kita bisa mengamati terjadinya getaran (vibration) selama beberapa nanodetik (1nanodetik = 10-9 detik) sebelum magnet itu menjadi superkonduktor. Menurut Goodwin, walaupun getaran ini terjadi hanya selama beberapa nanodetik saja, kita tetap dapat memanfaatkan keadaan unsteady state (belum tercapainya keadaan tunak) ini. Jika getaran-getaran yang tercipta ini dapat diarahkan ke satu arah yang sama maka kita bisa mendapatkan kekuatan yang cukup untuk ‘melempar’ sebuah pesawat ruang angkasa. Kekuatan ini tidak hanya cukup untuk ‘melempar’ secara asal-asalan, tetapi justru pesawat ruang angkasa bisa mencapai jarak maksimum yang lebih jauh dengan kecepatan yang lebih tinggi dari segala macam pesawat yang menggunakan propellant.
Untuk menerangkan idenya, Goodwin menggunakan kumparan kawat (solenoid) yang disusun dari kawat magnet superkonduktor yang dililitkan pada batang logam berbentuk silinder. Kawat magnetik yang digunakan adalah logam paduan niobium dan timah. Elektromagnet ini menjadi bahan superkonduktor setelah didinginkan menggunakan helium cair sampai temperatur 4 K (-269oC). Pelat logam di bawah solenoida berfungsi untuk memperkuat getaran yang tercipta. Supaya terjadi getaran dengan frekuensi 400.000 Hz, perlu diciptakan kondisi asimetri pada medan magnet. Pelat logam (bisa terbuat dari bahan logam aluminium atau tembaga) yang sudah diberi tegangan ini diletakkan secara terpisah (isolated) dari sistem solenoida supaya tercipta kondisi asimetri.
Selama beberapa mikrodetik sebelum magnet mulai berosilasi ke arah yang berlawanan, listrik yang ada di pelat logam harus dihilangkan. Tantangan utama yang masih harus diatasi adalah teknik untuk mengarahkan getaran-getaran yang terbentuk pada kondisi unsteady ini supaya semuanya bergerak pada satu arah yang sama. Untuk itu kita membutuhkan alat
semacam saklar (solid-state switch) yang bisa menyalakan dan mematikan listrik 400.000 kali per detik (yaitu sesuai dengan frekuensi getaran). Solid-state switch ini pada dasarnya bertugas untuk mengambil energi dari keadaan tunak dan mengubahnya menjadi pulsa listrik kecepatan tinggi (dan mengandung energi tinggi) sampai 400.000 kali per detiknya.
Energi yang digunakan untuk sistem elektromagnetik ini berasal dari reaktor nuklir (300 kW) milik NASA. Reaktor ini menghasilkan energi panas melalui reaksi fisi nuklir. Reaksi fisi nuklir ini melibatkan proses pembelahan atom yang disertai radiasi sinar gamma dan pelepasan kalor (energi panas) dalam jumlah sangat besar. Reaktor nuklir yang menggunakan ¾ kg uranium (U-235) bisa menghasilkan kalor yang jumlahnya sama dengan kalor yang dihasilkan oleh pembakaran 1 juta galon bensin (3,8 juta liter). Energi panas yang dihasilkan
reaktor nuklir ini kemudian dikonversi menjadi energi listrik yang bisa digunakan untuk sistem electromagnetic propulsion ini. Ketika digunakan dalam pesawat luar angkasa, ¾ kg uranium sama sekali tidak memakan tempat karena hanya membutuhkan ruangan sebesar bola baseball. Dengan massa dan kebutuhan ruang yang jauh lebih kecil dibandingkan mesin roket yang biasanya digunakan untuk mengirim pesawat ke luar angkasa, pesawat yang menggunakan sistem elektromagnetik ini dapat mencapai kecepatan maksimal yang jauh lebih tinggi
sehingga bisa mencapai lokasi yang lebih jauh pula.
Menurut Goodwin pesawat dengan teknologi elektromagnetik ini dapat mencapai titik heliopause yang merupakan tempat pertemuan angin yang berasal dari matahari (solar wind) dengan angin yang berasal dari bintang di luar sistem tatasurya kita (interstellar solar wind). Heliopause terletak pada jarak sekitar 200 AU (Astronomical Unit) dari matahari. 1 AU merupakan jarak rata-rata bumi dari matahari yaitu sekitar 1,5.108 km. Planet terjauh dalam sistem tatasurya kita saja hanya berjarak 39,53 AU dari matahari. Semua pesawat luar angkasa yang menggunakan propellant tidak bisa mencapai jarak sejauh itu!
Tentu saja pesawat yang dipersenjatai elektromagnetik yang dahsyat ini masih sangat jauh dari sistem ideal yang kita inginkan. Karena walaupun pesawatnya bisa mencapai kecepatan sangat tinggi, kecepatan itu masih sangat kecil dibandingkan kecepatan cahaya (300.000 km per detik). Kecepatan maksimum yang bisa dicapai sistem ini masih di bawah 1% kecepatan cahaya. Padahal bintang yang terdekat dengan sistem tatasurya kita berada pada jarak lebih dari 4 tahun cahaya (1 tahun cahaya = 300.000 km/detik x 60 detik/menit x 60 menit/jam x 24 jam/hari x 365 hari/tahun = 9,4608.1012 km). Perjalanan terjauh yang pernah ditempuh manusia adalah 400.000 km (yaitu perjalanan ke bulan).
Jika kita ingin mengirim pesawat tanpa awak pun kita masih membutuhkan ratusan tahun sebelum pesawat tersebut bisa mencapai bintang terdekat. Itu pun karena pesawatnya menggunakan teknologi elektromagnetik! Dengan pesawat yang menggunakan propellant bahan kimia kita baru bisa mencapai bintang terdekat dalam waktu puluhan ribu tahun. Jika kita ingin mencapai bintang terdekat dalam waktu lebih cepat seperti dalam film Star Trek kita membutuhkan teknologi yang bisa melampaui kecepatan cahaya. Selama teknologi itu masih
belum bisa dikembangkan, kita bisa memanfaatkan dulu teknologielektromagnetik yang ternyata memberikan alternatif yang cukup menjanjikan walaupun belum bisa mewujudkan impian kita untuk menjelajahi jagad raya.