MUNGKIN tidak ada objek astronomi yang sepopuler lubang hitam (black
hole). Di dalam arena diskusi dengan masyarakat luas di setiap
kesempatan, pertanyaan mengenai objek eksotik yang satu ini seakan tidak
pernah lupa untuk dilontarkan. Siapa sangka, istilah yang pertama kali
diberikan oleh John Archibald Wheeler pada 1969 sebagai ganti nama yang
terlalu panjang, yaitu completely gravitational collapsed stars, ini
menjadi sedemikian akrab di kalangan awam sekalipun?
Konsep lubang hitam pertama kali diajukan oleh seorang
matematikawan-astronom berkebangsaan Jerman, Karl Schwarzschild, pada
tahun 1916 sebagai solusi eksak dari persamaan medan Einstein
(Relativitas Umum). Penyelesaian berupa persamaan diferensial orde dua
nonlinear--yang dihasilkan Schwarzschild hanya dengan bantuan pensil dan
kertas kala itu--sangat memikat Einstein. Pasalnya, relativitas umum
yang bentuk finalnya telah dipaparkan Einstein di Akademi Prusia pada 25
November 1915, oleh penemunya sendiri "hanya" berhasil dipecahkan
dengan penyelesaian pendekatan. Bahkan dalam perkiraan Einstein, tidak
akan mungkin menemukan solusi eksak dari persamaan medan temuannya
tersebut.
Istilah lubang hitam sendiri menggambarkan kondisi kelengkungan
ruang-waktu di sekitar benda bermassa dengan medan gravitasi yang sangat
kuat. Menurut teori relativitas umum, kehadiran massa akan mendistorsi
ruang dan waktu. Dalam bahasa yang sederhana, kehadiran massa akan
melengkungkan ruang dan waktu di sekitarnya. Ilustrasi yang umum
digunakan untuk mensimulasikan kelengkungan ruang di sekitar benda
bermassa dalam relativitas umum adalah dengan menggunakan lembaran karet
sangat elastis untuk mendeskripsikan ruang 3 dimensi ke dalam ruang 2
dimensi.
Bila kita mencoba menggelindingkan sebuah bola pingpong di atas
hamparan lembaran karet tersebut, bola akan bergerak lurus dengan hanya
memberi sedikit tekanan pada lembaran karet. Sebaliknya, bila kita
letakkan bola biliar yang massanya lebih besar (masif) dibandingkan bola
pingpong, akan kita dapati lembaran karet melengkung dengan cekungan di
pusat yang ditempati oleh bola biliar tersebut. Semakin masif bola yang
kita gunakan, akan semakin besar tekanan yang diberikan dan semakin
dalam pula cekungan pusat yang dihasilkan pada lembaran karet.
Sudah menjadi pengetahuan publik bila gerak Bumi dan planet-planet
lain dalam tata surya mengorbit Matahari sebagai buah kerja dari gaya
gravitasi, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Isaac Newton pada
tahun 1687 dalam Principia Mathematica-nya. Melalui persamaan matematika
yang menjelaskan hubungan antara kelengkungan ruang dan distribusi
massa di dalamnya, Einstein ingin memberikan gambaran tentang gravitasi
yang berbeda dengan pendahulunya tersebut. Bila sekarang kita
menggulirkan bola yang lebih ringan di sekitar bola yang masif pada
lembaran karet di atas, kita menjumpai bahwa bola yang ringan tidak lagi
mengikuti lintasan lurus sebagaimana yang seharusnya, melainkan
mengikuti kelengkungan ruang yang terbentuk di sekitar bola yang lebih
masif. Cekungan yang dibentuk telah berhasil "menangkap" benda bergerak
lainnya sehingga mengorbit benda pusat yang lebih masif tersebut. Inilah
deskripsi yang sama sekali baru tentang penjelasan gerak mengorbitnya
planet-planet di sekitar Matahari a la relativitas umum. Dalam kasus
lain bila benda bergerak menuju ke pusat cekungan, benda tersebut tentu
akan tertarik ke arah benda pusat. Ini juga memberi penjelasan tentang
fenomena jatuhnya meteoroid ke Matahari, Bumi, atau planet-planet
lainnya.
Radius kritis
Melalui persamaan matematisnya yang berlaku untuk sembarang benda
berbentuk bola sebagai solusi eksak atas persamaan medan Einstein,
Schwarzschild menemukan bahwa terdapat suatu kondisi kritis yang hanya
bergantung pada massa benda tersebut. Bila jari-jari benda tersebut
(bintang misalnya) mencapai suatu harga tertentu, ternyata kelengkungan
ruang-waktu menjadi sedemikian besarnya sehingga tak ada satupun yang
dapat lepas dari permukaan benda tersebut, tak terkecuali cahaya yang
memiliki kelajuan 300.000 kilometer per detik! Jari-jari kritis tersebut
sekarang disebut Jari-jari Schwarzschild, sementara bintang masif yang
mengalami keruntuhan gravitasi sempurna seperti itu, untuk pertama
kalinya dikenal dengan istilah lubang hitam dalam pertemuan fisika ruang
angkasa di New York pada tahun 1969.
Untuk menjadi lubang hitam, menurut persamaan Schwarzschild,
Matahari kita yang berjari-jari sekira 700.000 kilometer harus
dimampatkan hingga berjari-jari hanya 3 kilometer saja. Sayangnya, bagi
banyak ilmuwan kala itu, hasil yang diperoleh Schwarzschild dipandang
tidak lebih sebagai sebuah permainan matematis tanpa kehadiran makna
fisis. Einstein termasuk yang beranggapan demikian. Akan terbukti
belakangan, keadaan ekstrem yang ditunjukkan oleh persamaan
Schwarzschild sekaligus model yang diajukan fisikawan Amerika Robert
Oppenheimer beserta mahasiswanya, Hartland Snyder, pada 1939 yang
berangkat dari perhitungan Schwarzschild berhasil ditunjukkan dalam
sebuah simulasi komputer.
Kelahiran lubang hitam
Bagaimana proses fisika hingga terbentuknya lubang hitam? Bagi
mahasiswa tingkat sarjana di Departemen Astronomi, mereka mempelajari
topik ini di dalam perkuliahan evolusi Bintang. Waktu yang diperlukan
kumpulan materi antarbintang (sebagian besar hidrogen) hingga menjadi
"bintang baru" yang disebut sebagai bintang deret utama (main sequence
star), bergantung pada massa cikal bakal bintang tersebut. Makin besar
massanya, makin singkat pula waktu yang diperlukan untuk menjadi bintang
deret utama. Energi yang dimiliki "calon" bintang ini semata-mata
berasal dari pengerutan gravitasi. Karena pengerutan gravitasi inilah
temperatur di pusat bakal bintang menjadi meninggi.
Dari mana bintang-bintang mendapatkan energi untuk menghasilkan
kalor dan radiasi, pertama kali dipaparkan oleh astronom Inggris Sir
Arthur Stanley Eddington. Sir Eddington juga yang pernah memimpin
ekspedisi gerhana Matahari total ke Pulau Principe di lepas pantai
Afrika pada 29 Mei 1919 untuk membuktikan ramalan teori relativitas umum
tentang pembelokan cahaya bintang di dekat Matahari. Meskipun demikian,
fisikawan nuklir Hans Bethe-lah yang pada tahun 1938 berhasil
menjelaskan bahwa reaksi fusi nuklir (penggabungan inti-inti atom) di
pusat bintang dapat menghasilkan energi yang besar. Pada temperatur
puluhan juta Kelvin, inti-inti hidrogen (materi pembentuk bintang) mulai
bereaksi membentuk inti helium. Energi yang dibangkitkan oleh reaksi
nuklir ini membuat tekanan radiasi di dalam bintang dapat menahan
pengerutan yang terjadi. Bintang pun kemudian berada dalam kesetimbangan
hidrostatik dan akan bersinar terang dalam waktu jutaan bahkan milyaran
tahun ke depan bergantung pada massa awal yang dimilikinya.
Semakin besar massa awal bintang, semakin cepat laju pembangkitan
energinya sehingga semakin singkat pula waktu yang diperlukan untuk
menghabiskan pasokan bahan bakar nuklirnya. Manakala bahan bakar
tersebut habis, tidak akan ada lagi yang mengimbangi gravitasi, sehingga
bintang pun mengalami keruntuhan kembali.
Nasib akhir sebuah bintang ditentukan oleh kandungan massa awalnya.
Artinya, tidak semua bintang akan mengakhiri hidupnya sebagai lubang
hitam. Untuk bintang-bintang seukuran massa Matahari kita, paling jauh
akan menjadi bintang katai putih (white dwarf) dengan jari-jari lebih
kecil daripada semula, namun dengan kerapatan mencapai 100 hingga 1000
kilogram tiap centimeter kubiknya! Tekanan elektron terdegenerasi akan
menahan keruntuhan lebih lanjut sehingga bintang kembali setimbang.
Karena tidak ada lagi sumber energi di pusat bintang, bintang katai
putih selanjutnya akan mendingin menjadi bintang katai gelap (black
dwarf).
Untuk bintang-bintang dengan massa awal yang lebih besar, setelah
bintang melontarkan bagian terluarnya akan tersisa bagian inti yang
mampat. Jika massa inti yang tersisa tersebut lebih besar daripada 1,4
kali massa Matahari (massa Matahari: 2x10 pangkat 30 kilogram),
gravitasi akan mampu mengatasi tekanan elektron dan lebih lanjut
memampatkan bintang hingga memaksa elektron bergabung dengan inti atom
(proton) membentuk netron. Bila massa yang dihasilkan ini kurang dari 3
kali massa Matahari, tekanan netron akan menghentikan pengerutan untuk
menghasilkan bintang netron yang stabil dengan jari-jari hanya belasan
kilometer saja. Sebaliknya, bila massa yang dihasilkan pasca ledakan
bintang lebih dari 3 kali massa Matahari, tidak ada yang bisa menahan
pengerutan gravitasi. Bintang akan mengalami keruntuhan gravitasi
sempurna membentuk objek yang kita kenal sebagai lubang hitam. Bila
bintang katai putih dapat dideteksi secara fotografik dan bintang netron
dengan teleskop radio, lubang hitam tidak akan pernah dapat kita lihat
secara langsung!
Mengenali lubang hitam
Bila memang lubang hitam tidak akan pernah bisa kita lihat secara
langsung, lantas bagaimana kita bisa meyakini keberadaannya? Untuk
menjawab pertanyaan ini, John Wheeler sebagai tokoh yang mempopulerkan
istilah lubang hitam, memiliki sebuah perumpamaan yang menarik.
Bayangkan Anda berada di sebuah pesta dansa di mana para pria mengenakan
tuksedo hitam sementara para wanita bergaun putih panjang. Mereka
berdansa sambil berangkulan, dan karena redupnya penerangan di dalam
ruangan, Anda hanya dapat melihat para wanita dalam balutan busana putih
mereka. Nah, wanita itu ibarat bintang kasat mata sementara sang pria
sebagai lubang hitamnya. Meskipun Anda tidak melihat pasangan prianya,
dari gerakan wanita tersebut Anda dapat merasa yakin bahwa ada sesuatu
yang menahannya untuk tetap berada dalam "orbit dansa".
Demikianlah para astronom dalam mengenali keberadaan sebuah lubang
hitam. Mereka menggunakan metode tak langsung melalui pengamatan bintang
ganda yang beranggotakan bintang kasat mata dan sebuah objek tak
tampak. Beruntung, semesta menyediakan sampel bintang ganda dalam jumlah
yang melimpah. Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab
bintang-bintang memang terbentuk dalam kelompok. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa di galaksi kita, Bima Sakti, terdapat banyak bintang
yang merupakan anggota suatu gugus bintang ataupun asosiasi.
Telah disebutkan di atas bahwa medan gravitasi lubang hitam sangat
kuat, jauh lebih kuat daripada bintang kompak lainnya seperti bintang
“katai putih” maupun bintang netron. Dalam sebuah sistem bintang ganda
berdekatan, objek yang lebih masif dapat menarik materi dari bintang
pasangannya. Demikian pula dengan lubang hitam. lubang hitam menarik
materi dari bintang pasangan dan membentuk cakram akresi di sekitarnya
(bayangkan sebuah donat yang pipih bentuknya). Bagian dalam dari cakram
yang bergerak dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya, akan melepaskan
energi potensial gravitasinya ketika jatuh ke dalam lubang hitam.
Energi yang sedemikian besar diubah menjadi kalor yang akan memanaskan
molekul-molekul gas hingga akhirnya terpancar sinar-X dari cakram akresi
tersebut. Sinar-X yang dihasilkan inilah yang digunakan oleh para
astronom untuk mencurigai keberadaan sebuah lubang hitam dalam suatu
sistem bintang ganda. Untuk lebih meyakinkan bahwa bintang kompak
tersebut benar-benar lubang hitam alih-alih bintang “katai putih”
ataupun bintang netron, astronom menaksir massa objek tersebut dengan
perangkat matematika yang disebut fungsi massa. Bila diperoleh massa
bintang kompak lebih dari 3 kali massa Matahari, besar kemungkinan objek
tersebut adalah lubang hitam.